Langsung ke konten utama

Pengabdian Bunda


Sekelumit cerita ini terurai dari kisah hidup yang dijalani oleh ibu saya. Sosok wanita yang begitu saya cintai. Ya, bagi saya tak akan pernah ada habisnya bercerita tentang bunda yang sungguh menjadi inspirasi bagi saya.

Beliau bernama Endang Ismayuti. Orang-orang di kampung memanggilnya ibu Endang. Sebagian lagi mengenalnya dengan sapaan Bidan Endang. Entah dari mana asal muasalnya, tapi yang jelas saat ini ibunda hanyalah seorang ibu rumah tangga yang alhamdulillah diberikan rezeki oleh Allah berupa usaha klinik kecil yang dirintisnya.

Bukanlah sebuah poliklinik besar yang dibuka oleh ibu. Hanya sebuah klinik kecil, berada di salah satu ruangan dalam rumah yang kami tinggali. Sebuah ruangan di dalam rumah yang terkesan sangat minimalis, sangat dimanfaatkan! Di tempat itulah ibu kini menjalani hari-harinya sebagai tenaga medis masyarakat yang menangani pasien dengan penyakit ringan.
I
bunda yang kini berusia 47 tahun, adalah lulusan Diploma III Keperawatan di salah satu Universitas Swasta di Kota Medan. Sempat bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Herna Medan. Namun ketika menikah dengan bapak, ibu pun harus melepaskan pekerjaannya di rumah sakit tersebut. Bersama bapak di kota Pematangsiantar, Ibu pun mulai mencari lowongan pekerjaan baru di rumah sakit yang ada di Kota Pematangsiantar. Alhamdulillah, saat itu ibu diterima bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Manuela, Kota Siantar. Sebuah rumah sakit swasta dibawah binaan seorang dokter keturunan Jerman.

Di masa-masa menjalani pekerjaannya sebagai seorang perawat, dahulu ibu sempat mengikuti beberapa kali test penerimaan CPNS yang dibuka oleh Departemen Kesehatan. Namun, kerap kali ibu mengikuti test CPNS tersebut, kerap kali itu pula  ibu tak pernah berhasil lolos dalam penerimaan. Sedih, tentu seperti itulah yang dulu ibu rasakan. Di saat opini masyarakat memandang PNS adalah jalan mulus meraih sukses. Namun di saat itulah ibu sulit sekali untuk meraihnya.

Pekerjaannya sebagai perawat yang sangat melelahkan berjalan hingga beberapa tahun setelah bapak dan ibu menikah. Hingga lahir anak pertama yang tak lain adalah kakanda saya. Tak berselang lama, lahir pula lah saya sebagai putra kedua. Kehidupan yang ibu jalani pun semakin hari semakin berat. Dengan statusnya yang bekerja sebagai perawat, dan ibu dari dua orang anak yang masih kecil-kecil, sungguh sulit bagi ibu untuk melanjutkan pekerjaannya.

Melihat kondisi yang tak memungkinkan itulah, bapak pun langsung meminta ibu untuk berhenti bekerja dan fokus pada kami, dua buah hati mereka yang saat itu masih unyu-unyu. Sempat berat bagi ibu untuk meninggalkan pekerjaannya, tapi bagi ibu mungkin inilah jalan yang terbaik. Menjadi ibu rumah tangga ialah pekerjaan paling mulia bagi seorang wanita. Ibu pun menuruti peritah bapak dengan penuh keikhlasan. Untuk menjadi ibu rumah tangga seperti yang diharapkan bapak.

Teringat olehku, saat dahulu ketika ibu berhenti bekerja, itulah saat paling memprihatinkan dari rumah tangga yang dibina oleh kedua ibu bapak. Bapak sebagai kepala rumah tangga hanya mampu mengontrak sebuah rumah kecil di kota ini. Bekerja sebagai seorang guru berpenghasilan pas-pasan dan harus membiayai ibu, dan 2 jagoan kecilnya. Namun jiwa dan semangat mandiri bapaklah yang kemudian meyakinkan ibu. Meskipun ibu kini tak lagi bekerja, ibu harus tetap mendukung bapak dalam memenuhi pundi-pundi ekonomi keluarga.

Ibu yang memang memiliki jiwa bisnis pun mulai memeras otak demi membantu bapak saat itu. Demi keluarga, ibu rela menghabiskan waktunya di rumah untuk menggoreng keripik pisang, membungkusnya, kemudian menitipkannya ke warung-warung di dekat rumah. Apapun yang kira-kira bisa ibu perdagangkan, pasti akan ia usahakan. Semua dilakukan di rumah, demi anak-anaknya, demi perintah suaminya agar tetap di rumah.

Ibu yang pernah bekerja sebagai perawat, nalurinya sebagai abdi pengobatan masyarakat masih saja ada di hatinya. Ia tak ingin begitu saja melupakan identitasnya, ilmu-ilmu yang pernah ia peroleh semasa kuliah dan bekerja di rumah sakit. Sungguh, ia ingin sekali menggunakan kedua tangannya untuk membantu pasien yang sedang sakit, meracik obat untuk mereka, mendengarkan keluhan-keluhannya. Perasaan inilah yang kian menguatkan ibu untuk mencoba membuka usaha klinik.

Meski pada saat itu, begitu banyak sekali pertimbangan ibu untuk memulai usaha kliniknya tersebut. Pertama, dikarenakan ibu hanyalah seorang lulusan akademi keperawatan. Ibu bukanlah seorang dokter dan bukan pula seorang bidan. Ibu hanya perawat yang lulus dengan titel ahli madya. Baginya, saat itu bukanlah hal yang mudah untuk membuka praktek sendiri. Tak ada izin yang dimilikinya. Itulah yang membimbangkan hatinya.

Namun, dengan dukungan yang Bapak berikan, akhirnya ibu pun mulai percaya diri untuk merintisnya. Dengan bekal ilmu di perkuliahan, dan pengetahuan tentang obat yang diperolehnya selama bekerja dengan dokter-dokter di rumah sakit, ibu pun memberanikan diri. Saya masih ingat, dahulu bapak pernah membelikan ibu sebuah lemari etalase untuk memajang obat-obat yang direkomendasikan ibu. Bapak juga membelikan ibu sebuah tempat tidur pasien yang terbuat dari kayu. Hanya satu dan itu telah dipakai sampai saya lulus dari SMA. Hebat!

Pasien pertama ibu adalah tetangga-tetangga di sekitar rumah kontrakan saat itu. Dengan keramahan yang ibu miliki, dengan cepat dari mulut ke mulut masyarakat mengetahui klinik yang ibu rintis. Ibu tak memasang plang untuk mempromosikannya. Karena memang izin yang dipegangnya. Hanya karena naluri untuk mengobati masyarakat sajalah, ia melakukannya.

Usaha ibu pun berjalan hingga saat ini. Hingga kami sekeluarga mampu menempati rumah yang baru. Dengan berpindahnya di rumah yang baru, pasien ibu pun kian menyebar dan semakin banyak. Selain masih tergolong murah, keramahan ibu dalam melayani pasien-lah yang membuat ibu mampu menarik hati masyarakat. Saya teringat, dahulu ada seorang nenek yang berobat ke rumah. Ibu tahu nenek tersebut adalah orang yang tak mampu. Ibu pun sama sekali tak meminta bayaran kepadanya. Di akhir pengobatan, sang nenek tertidur pulas di atas tempat tidur tempat ia di suntik sebelumnya. Dengan tenang, ibu menyelimutinnya dan membiarkan sang nenek melepaskan penatnya setelah jauh berjalan hanya untuk sampai ke rumah. Ketika sang nenek terbangun dari tidurnya, ibu pun telah menyediakan makan siang untuknya.

Dari hal-hal sekecil inilah saya belajar bagaimana ibunda mengabdikan dirinya dengan ikhlas. Tolong menolong bagi mereka yang tak mampu. Ibu itu bagi saya adalah wanita yang memberikan pelajaran dengan teladan yang dilakukannya. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku: Pernik CInta OSD - SEJUTA PELANGI

Judul Buku           : Pernik Cinta Okisetiana Dewi: SEJUTA PELANGI Penulis                   : Oki Setiana Dewi Penerbit                : Mizania Tebal Buku           : ±294 Halaman Kategori Buku     : Kisah-Kisah Inspiratif Pembangun Jiwa Harga                     : Rp 49.000,- “Sebuah kisah tentang mereka yang memancarkan semangat... Kisah tentang mereka yang berlomba memberi manfaat... Ini tentang para “pelangi” yang mengajarkan makna hidup dengan gradasi warna-warni, ada duka, suka, semangat, senyum, juga cinta. Menyingkap hikmah. Menebar cinta...”           Kutipan kalimat salam pembuka di atas diambil dari buku kedua karya Oki Setiana Dewi yang berjudul: Pernik Cinta Oki Setiana Dewi: SEJUTA PELANGI. Sebuah karya yang ditulis dari bahasa hati seorang gadis kelahiran Batam, 13 Januari 1989. Karya yang begitu luar biasa untuk gadis seusianya. Setelah buku perdananya: Melukis Pelangi,  Kini Oki menelurkan kembali karyanya berjudul: Sejuta Pelangi. Lagi-lagi pa

Donor Darah: Menyehatkan!

sumber foto: http://ilhamkizaru.blogspot.com Hari ini (03/01/2013) adalah hari yg sangat cerah saat aku berangkat menuju ke kantor. Badan segar sehabis berolahraga dan mandi pagi menjadikan langkah kaki terasa ringan saat berangkat ke kantor. Tiba di pintu gerbang kantor, mataku tertuju pada sebuah banner pengumuman “Donor Darah Rutin Kementerian Keuangan” yang akan dilaksanakan pada hari Selasa, 8 Januari 2013 di gedung B (RM.Notohamiprodjo ) pukul 08.30 s.d. selesai di Komplek Kementerian Keuangan di Jalan Wahidin no.1 Jakarta Pusat. Mengetahui pengumuman tersebut, aku pun langsung saja memasang niat dalam hati untuk mengikuti kegiatan donor darah tersebut. Alhamdulillah, sebelumnya aku sudah pernah 2 kali donor darah di acara yang sama yang diselenggarakan oleh PMI yang bekerjasama dengan Kementerian Keuangan. Jarak waktu donor ke donor berikutnya kurang lebih 3 bulan. Tentunya dengan persyaratan kondisi fisik serta keadaan darah yang dibutuhkan. Singkat cerita tanpa d

Cita-Cita Ibunda

“Bila Ibu tak mendengarkan nasihat dari Bapak yang dahulu pernah bapak sampaikan, mungkin Ibu tak akan bisa jadi seperti sekarang ini...” Untuk kesekian kalinya, saya menukilkan kisah Ibunda saya dalam halaman sederhana blog ini. Sebuah kisah yang mengajarkan saya bahwa terkadang hidup tak selamanya sesuai dengan rencana yang telah kita miliki. Rencana hebat sekalipun itu. Terkadang hidup justru berjalan apa adanya. Di luar dugaan. Hingga pada akhirnya, kita akan tersadarkan, betapa hebatnya rencana Tuhan. Ibunda. Saat itu ia adalah seorang wanita muda yang baru saja menikah. Yah, tentulah dengan bapak yang sampai saat ini masih menemaninya. Sebagai seorang lulusan diploma III akademi perawat dari sebuah universitas di Sumatera Utara, ibunda juga memiliki cita-cita.  Sebuah cita-cita sederhana. Menjadi perawat di sebuah rumah sakit. Ketika menikah dengan Bapak, Ibu sempat bekerja sebagai perawat di rumah sakit di Kota Medan. Saat Bapak memutuskan untuk hijrah ke Kota Sian