Waktu terus berjalan. Desember kemarin, Desember sekarang.
Begitu cepat setahun berlalu. Perubahan zaman yang serba instan seakan membuat
waktu berjalan di atas monorel cepat. Waktu tak akan berhenti untuk menunggu
orang-orang yang menunda. Ia juga tak akan berjalan lebih cepat mengimbangi keinginan
manusia telah menunggu lama. Ia konstan adanya. Ia 24 jam sehari-semalam. Tak
ada bedanya.
Seiring berjalannya waktu (red: begitu kata buku-buku), coba
kita resapi apa saja yang telah kita perbuat selama ini. Prestasi apa yang
telah kita ukir bersama waktu? Atau mungkin, kebodohan apa yang sudah kita
jalani bersama waktu pula? Pernahkah kita memuhasabahnya?
Source: Google |
Di saat semua orang masih sibuk dengan aktivitasnya. Saya
mengajak sahabat pembaca sekalian untuk kembali mengalokasikan waktu sejenak.
Membuka kembali memori masa lalu. Memilahnya ke dalam daftar hitam-daftar putih
kehidupan sahabat semua.
Mulai dari sahabat duduk di bangku taman kanak-kanak. Saat
itu sahabat semua mungkin masih begitu manja. Sangat bergantung pada ayah ibu.
Saat hendak berangkat ke taman-kanak-kanak, mungkin ayah-ibu masih mengantar.
Saat di dalam kelas, mungkin sahabat suka menangis karena di ganggu teman. Atau
malah mengganggu teman dan kemudian tak menerima teguran dari guru hingga
menangislah. Saat itu, di dalam tas sahabat, masih membawa bekal makan siang
dari masakan ibu yang kini ibu begitu jauh dari sahabat. Saat TK, sahabat begitu
mudah mendapatkan mainan jenis apapun itu. Bahkan bila ayah-ibu tak
memenuhinya, cukup dengan menangis saja, sahabat mampu mendapatkannya. Karena
sahabat semua begitu disayangnya oleh ayah-ibu, hingga tak ada seorang ibupun
yang tega melihat tangisan sahabat semua. Ya, beliau itu adalah ibumu...
Yuk, berlanjut membuka memori saat sahabat duduk di Sekolah
Dasar. Saat itu, setiap hari diisi dengan keceriaan dan keriangan bermain.
Bahkan ke sekolah pun membawa mainan. Di sekolah bermain permainan. Di sekolah
membeli mainan. Dalam belajar, yang diingat hanya main-main. Meski begitu, saat
pembagian rapor sekolah, ranking adalah indikator pintar-bodohnya seorang murid
SD. Saat itu, nilai sekolah menjadi tolak ukur keberhasilan dalam belajar.
Bahkan sepertinya, imprint itu masih terbawa sampai saat ini. Siapa juara satu,
dia dihargai dengan nilainya. Siapa tak juara, ya terlihat biasa-biasa saja.
Nilai dan ranking.
Membuka memori kala SMP sama halnya dengan membuka memori
masa-masa gejolak jiwa yang sangat labil. Saat itu, sahabat memasuki masa-masa
pubertas. Mulai melirik lawan jenis. Bahkan, sudah ada yang bercinta-cintaan
saat sahabat masih SMP. Ada yang mengabadikan cintanya dengan mencoret dinding/meja
sekolah dengan tulisan “Fulan Cinta Sama Fulana”, atau Fulan Love Fulana”, Atau
ada juga yang menggambar “Fulan (Love terpanah) Fulana”. Kadang sering senyum-senyum
sendiri mengenang kenakalan wajar anak SMP.
Saat beranjak SMA, sahabat seakan digiring pada masa
kematangan. Tapi sejujurnya pada masa itu, sahabat masih belum siap dengan
kedewasaan. Sahabat masih suka main sama teman. Menghabiskan waktu usai pulang
sekolah. Sahabat mulai berani membohongi orang tua demi kesenangan bermain.
Berkata les bimbingan, tapi nyatanya sering bolos. Tapi bagi sahabat yang lain,
masa SMA begitu sayang dilewatkan hanya untuk membuat kenakalan. Saya meyakini,
saat SMA sahabat semua sering mengukir prestasi cemerlang. Mungkin ada yang
pernah meraih piala dalam lomba cerdas cermat, karya ilmiah, pidato Bahasa
Inggris, atau bahkan preatasi di bidang olah raga. Prestasi-prestasi itu sepertinya sahabat hadiahkan untuk ayah-ibu semata. Sebagai sebuah pencapain sahabat sebagai putra/putri mereka yang bisa dibanggakan.
Wallahu'alam
Salam TPoG,
Ihtada Yogaisty
Komentar
Posting Komentar