Berangkat dari beberapa
observasi yang menggelitik, saya kemudian menuliskannya dalam catatan saya kali
ini. Tentang keyakinan hati manusia, yang saya akui akan selalu ada perbedaan
di dalamnya. Namun dengan penuh kerendahan hati, di awal ini saya tuliskan:
Bagimu Agamamu, Dan Bagiku Agamaku.
Dahulu, ketika saya masih
kecil hingga saya beranjak remaja, saya tinggal di lingkungan yang sebagian
besar bukanlah penganut agama Islam. Sebut sajalah agama tetangga. Setiap libur
sekolah tiba, adalah saatnya bagi mereka beribadah ke rumah ibadahnya. Anak
kecil, remaja, dewasa, hingga kakek nenek, seakan bersuka cita menuju tempat peribadatan
mereka. Mereka menggenggam erat kitab suci mereka di dada. Sepertinya mereka
pembaca setianya. Saya sempat kagum dengan semangat ibadah mereka. Mereka
mengenakan pakaian yang terbaik yang mereka miliki. Yang wanita berdandan
cantik. Yang pria bersisir rambut. Necis, elegan, dan terkesan wah! Kemungkinan
di daerah lain juga begitu. Di tanah Batak, mereka memakai ulos. Di tanah jawa,
mereka beribadah dengan batik tulis terbaiknya. Atau mungkin di tanah
Palembang, mereka ibadah dengan songket berharga jutaan. Kekaguman saya di awal
seketika itu juga sirna, ketika mengetahui ternyata ketika hendak memasuki
rumah Tuhan mereka, mereka tak melepaskan sandal/sepatu mereka. Lalu saya
berpikir dalam hati: ‘’Apakah umat ini
rela jika rumah mereka dimasuki tamu-tamu dengan sepatu para tamu ke dalam
rumahnya? Lalu, mengapa di rumah Tuhan mereka, mereka berbuat demikian?”
Sekelak, saya langsung
mengintrospeksi diri saya dengan keyakinan yang saya pegang. Dalam keyakinan
saya, taklah diperlukan baju yang mewah, dasi yang melingkar, atau (bagi para
jamaah wanita) lipstik dan bedak yang tebal untuk menghadap Tuhan. Cukuplah
dengan pakaian yang bersih dan suci. Bersuci
dengan air wudhu. Sopan. Menutup aurat. Dan bagi pria dinilai-lebihkan untuk
memakai wewangian non-alkohol. Di dalam masjid, para jamaah dengan penuh
kesadaran tak memasukkan sendal/sepatu yang mereka kenakan. Ini merupakan hal
kecil, yang membuktikan penghormatan besar bagi Sang Pemilik Rumah, Allah SWT.
Saya kian bangga dengan ajaran yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW.
Bagi keyakinan tetangga,
mereka menggaungkan suka cita dunia. Ibadahnya pun terlihat meriah. Penuh lagu,
dan nyanyian pujian. Berbeda dengan yang saya anut. Saya lebih bangga dengan
keyakinan saya, yang ibadahnya khusyuk dengan lantunan ayat-ayat Allah dalam
sholat. Tanpa musik di dalamnya. Dan inilah arti kedamaian dalam beribadah.
Hanya ada butiran air mata yang menetes menangisi dosa. Mengemis di hadapan
Tuhan dalam lautan doa penuh khidmat. Saat bersujud, semua kepala sama rata di
hadapan-Nya. Berseru memuji nama-Nya. Menyatakan diri kepada Tuhan, bahwa kami
adalah hamba yang lemah di hadapanNya.
Didalam masjid, kami tidak
duduk di kursi. Kami duduk di lantai beralas sajadah. Yang pria di depan, Yang
wanita di belakang. Karena dalam Al-Qur’an, Tuhan memang menjadikan laki-laki
sebagai pemimpin bagi perempuan. Inilah posisi beribadah yang saya sangat
kagumi dalam keyakinan saya. Pria dan wanita memang sebaiknya tidaklah
bercampur (ikhtilat). Karena hal ini akan menjauhkan kita dari fitnah, bergibah
(menggunjing), serta bercerita berlebihan saat kita berada di rumah ibadah.
Berbicara tentang kematian,
keyakinan saya mengajarkan untuk tidak larut dalam kesedihan. Boleh bersedih
karena ditinggalkan orang tercinta. Tapi tidak lebih dari 3 hari. Menangisi
jenazah pun tidak dengan meronta-ronta seperti hilang kendali. Jenazah muslim
pun tidaklah untuk ditahan di dunia pasca kematiannya. Di dalam Islam, ada
perintah untuk menyegerakan mengurus jenazah seorang Muslim. Mulai dari
memandikannya, mengkafaninya, menyolatkannya, hingga mengkebumikannya.
Menghibur keluarga yang ditinggalkan pun dalam Islam ada tata caranya.
Menghibur di sini bukan identik dengan memainkan musik gondang yang membahana.
Menghibur bukanlah dengan berjoget riang. Menghibur keluarga yang ditinggalkan
adalah dengan membantunya. Memasakkan makanan baginya. Membantu mengurus
jenazahnya. Menyabarkan hati-hati keluarganya. Menyampaikan dukungan doa,
materi, bahkan tenaga bagi yang ditinggalkannya.
Saat meninggal pun, Seorang
muslim hanya membawa beberapa helai kain kapan yang menutupi tubuhnya. Seiring
waktu, seiring zaman, kain putih itupun pada akhirnya akan bersatu menjadi
tanah, bersama dengan jasad. Yang dibawa ke alam kubur adalah bekal iman dan
takwanya di dunia. Islam tak pernah mengajarkan untuk menguburkan jenazah
bersama dengan barang kesayangannya, entah itu uang, baju jas, ulos, cincin,
bolpoint, ataupun dasi kesayangan jenazahnya. Karena memang kalau
dipikir-pikir, itu semua tak ada gunanya. Malah hanya mengundang orang berniat jahat
untuk berbuat kriminal, melakukan pencurian melalui bongkar kuburan.
Kematian adalah muara dari pintu
gerbang kehidupan yang kekal bagi semua yang bernyawa. Di alam barunya, setiap
yang meninggal harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Yang beriman dan
bertaqwa selama di dunia, tenteramlah ia menuju jalan-Nya. Yang bergelimang
dosa dan yang menyekutukan Tuhan, bersiaplah ia menanggung balasan dari
Tuhannya.
Sumber: Google |
Yah, begitulah adanya.
Selalu ada perbedaan. Namun, hanyalah mereka yang mau berpikir dan meresapi
fatwa hati, yang akan menemukan jalan kebenaran...
Komentar
Posting Komentar