Langsung ke konten utama

PARA PENCARI ALASAN


Suatu hari, A beserta sahabatnya mendatangi sebuah pusat jajanan serba ada untuk makan siang. Padat, penuh dengan manusia-manusia kelaparan di siang hari. Termasuk juga A dan sahabat-sahabatnya. Makan siang berlangsung cepat. Karena tempat makan yang penuh sesak oleh manusia. Usai membayar makan siangnya, A pun bergegas keluar. Ia berdiri sejenak di serambi luar tempat makan, sambil melihat seorang pengemis wanita yang meminta-minta di pintu masuk tempat makan. A memperhatikan sang pengemis itu. Lalu lalang orang melintasi pintu masuk, tapi mereka seakan tak menganggap ada pengemis di hadapannya. Lewat begitu saja. A dan teman-temannya pun bergegas pulang. Mau tak mau A dan sahabat-sahabatnya harus melewati pintu yang sama. Melintasi pengemis wanita di hadapannya, A hanya bisa lewat tanpa memberikan apa-apa. Jleb! Ada perasaan iba yang dirasakan A. Baru saja ia makan enak, tapi selama ini ia tak pernah mencoba bertanya pada hatinya: ‘’Apakah pengemis itu sudah makan?” A pun merasa bersalah atas hatinya yang masih belum peka.
*******************************
Kurang lebih perasaan seperti itu sering saya alami ketika bertemu dengan pengemis. Entah itu pengemis di jalanan, di luar masjid usai jumatan, di rumah makan. Ya, banyak memang jumlah pengemis saat ini. Bila ditanya apakah mereka senang jadi pengemis, mungkin mereka akan serempak menjawab mana ada manusia yang mau terlahir dengan kondisi seperti mereka saat ini, Jadi Tukang Peminta-Minta.

Banyaknya pengemis di jalanan sebenarnya bukanlah hal baru. Sebagian orang berkata, pengemis adalah mereka yang malas bekerja. Bisanya cuma minta-minta. Okelah, mungkin ada benarnya. Lalu bila kita bertanya pada mereka (para pengemis), mengapa mereka hidup dengan mengemis? Yakinlah, mereka akan menjawab: ‘’Lha wong mau kerja apa lagi? Modal nggak ada. Lapangan pekerjaan juga gak mau menerima.” Bila pengemisnya sudah tua dan sakit-sakitan, mungkin mereka akan menjawab: “Saya kan sudah tua. Sudah susah bekerja. Anak saya juga orang susah. Saya juga sakit-sakitan lagi.” Seribu alasan mungkin bisa saja keluar dari sang pengemis.

Tapi bukan hal itu yang menjadi sorotan saya. Sorotan saya kali ini adalah kita, yang sering menjadi objek yang diminta-minta oleh pengemis. Sudahkah kita memperlakukan pengemis secara manusiawi? Mungkin kalo diklasifikasikan ke dalam tipe manusia bila sedang menghadapi pengemis, ada beberapa jenis tipe manusia:
1.    Memberi dengan ikhlas dan senyuman.
2.    Memberi tapi dengan wajah cuek kurang ikhlas dan modal kasihan doang.
3.    Tidak memberi, tapi masih mengucapkan maaf sambil tersenyum bersalahnya.
4.    Tidak memberi, dan cueknya minta ampun.
Kira-kira, jika diklasifikasikan. Kita lebih sering masuk ke tipe nomor berapa ya? (Jawab sendiri)

Yuk kita beralih ke cerita lainnya. Coba deh bayangkan, saat anda naik metromini, atau angkutan umum lainnya. Datang seorang pengamen. Jrang Jreng. Bernyanyi. Satu lagu lewat. Jrang Jreng. Lagu tambahan pun selesai. Sang pengamen mengeluarkan bungkus gede permen yang dibalik sehingga yang terlihat dari luar warna silver bungkusnya. Menadah minta sumbangan dari depan kursi metromini, sampe ke belakang. Sang pengamen berterimakasih, dan keluar bus.

Nah, kalau diklasifikasi ke dalam tipe manusia bila sedang didatangi pengamen juga sama kurang lebih sama seperti ketika mereka mengahdapi pengemis. Ada yang:
1.    Memberi dengan ikhlas dan senyuman
2.    Memberi tapi dengan wajah cuek kurang ikhlas dan modal kasihan doang.
3.    Tidak memberi, tapi masih mengucapkan maaf sambil tersenyum bersalahnya
4.    Tidak memberi, dan cueknya minta ampun.
Kira-kira, kita lebih sering masuk kategori nomor berapa ya? (Jawab lagi sendiri)

Nah, ada sebagian orang yang beralasan untuk tidak memberikan uang mereka kepada pengemis karena pengemis itu hanyalah orang-orang yang malas bekerja. Memberi pengemis sama saja menjadikannya semakin malas bekerja. Makanya mereka enggan memberi pengemis meski sepeser recehan. Tapi saat dihadapkan dengan pengamen yang meminta empati mereka lewat nyanyian yang dibawakan, mereka pun kembali mencari-cari alasan lain. Kebanyakan mereka tidak memberi pengamen dengan alasan “Ah, nyanyinya gak bagus. Kok serba nanggung gitu nyanyinya? Kayak gak niat nyanyi. Hmm, gak ada uang kecil. Uang Lima puluhan ribu semua di dompet.” Astaghfirullah... Manusia memang makhluk yang pintar beralasan.

Padahal, Pernahkah kita berpikir kalau saat itu (tepatnya sore itu) mereka (para pengamen) sudah menyanyi puluhan lagu dan kelelahan mencari recehan hingga sore hari? Pernahkan kita berpikir kalau si pengemis masih saja mengemis sampai malam karena mereka belum mendapatkan banyak uang untuk keluarganya? Sementara kita? Meski kadang kita lelah pulang bekerja di sore hari. Kita jauh lebih beruntung dari mereka. Namun kita masih saja enggan memberi mereka sedikit rezeki hari ini untuk makan mereka.
Saya jadi teringat pesan bapak sama saya. ‘’Nak, kalau ada pengemis. Berilah mereka semampumu. Jangan pernah cari-cari alasan buat menolak meraka. Jangan pula acuhkan mereka. Bila memang tidak bisa memberi karena tak ada, perlakukan mereka dengan baik. Senyumlah dan katakan maaf minimal.”

Saya ingat betul nasihat bapak yang satu ini. Namun jujur, saya masih belum bisa dikategorikan sebagai orang yang mengingat derita pengemis. Saya belum bisa dikatakan orang yang peka terhadap perjuangan pengamen menafkahi keluarganya. Saya masih tergolong manusia yang mencari-cari alasan untuk menghindari mereka. Semoga Allah mengampuni dosaku yang sering mengabaikan mereka. Dan semoga hati ini lebih peka atas apa yang mereka (pengemis dan pengamen) rasakan dalam kehidupannya. Lembutkan hati kami ya Allah... Amiin.

Salam TPoG,
Ihtada Yogaisty

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resume Film: Habibie-Ainun (2012)

Foto Bersama Pesawat N250-Gatotkoco, buatan Pak Habibie 20-12-2012, tepat di tanggal cantik itu film Habibie Ainun diputar di seluruh Indonesia. Beberapa hari sebelumnya saat layar coming soon film ini dipajang gede di segitiga Senen, saya pribadi sangat interest , ingin sekali nonton film yang dibintangi oleh Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari ini. Film yang diangkat dari buku best seller “Habibie Ainun” ini merupakan kisah nyata perjalanan hidup seorang Professor Dr. Ing. B.J. Habibie dengan istrinya, Ibu Hasri Ainun Habibie. Disutradai oleh Faozan Rizal, film ini dikemas dengan apik dengan mengambil setting di dua negara, Jerman dan Indonesia. Film ini mengisahkan tentang perjuangan Bapak Habibie semasa mudanya. Masa dimana beliau memiliki semangat belajar yang begitu gigih saat mengenyam pendidikan di Jerman hingga ia mampu mencapai gelar doktor di salah satu universitas ternama di negeri tersebut. Kisahnya bertambah lengkap pula saat Ibu Hasri Ainun, yang merupakan sos

Resensi Buku: Pernik CInta OSD - SEJUTA PELANGI

Judul Buku           : Pernik Cinta Okisetiana Dewi: SEJUTA PELANGI Penulis                   : Oki Setiana Dewi Penerbit                : Mizania Tebal Buku           : ±294 Halaman Kategori Buku     : Kisah-Kisah Inspiratif Pembangun Jiwa Harga                     : Rp 49.000,- “Sebuah kisah tentang mereka yang memancarkan semangat... Kisah tentang mereka yang berlomba memberi manfaat... Ini tentang para “pelangi” yang mengajarkan makna hidup dengan gradasi warna-warni, ada duka, suka, semangat, senyum, juga cinta. Menyingkap hikmah. Menebar cinta...”           Kutipan kalimat salam pembuka di atas diambil dari buku kedua karya Oki Setiana Dewi yang berjudul: Pernik Cinta Oki Setiana Dewi: SEJUTA PELANGI. Sebuah karya yang ditulis dari bahasa hati seorang gadis kelahiran Batam, 13 Januari 1989. Karya yang begitu luar biasa untuk gadis seusianya. Setelah buku perdananya: Melukis Pelangi,  Kini Oki menelurkan kembali karyanya berjudul: Sejuta Pelangi. Lagi-lagi pa

PENTINGNYA TOTALITAS DALAM MENGGALI POTENSI DIRI

Jangan pernah berpikir untuk mengejar materi, Jangan pernah berpikir untuk mengejar gelar, Jangan pernah berpikir untuk mengejar jabatan... Tapi, berpikirlah bagaimana agar materi, gelar, dan jabatan yang mengejar anda! Bagaimana caranya? TOTALITAS DALAM MENGGALI KOMPETENSI DIRI Ya, Itulah perkataan dari salah seorang narasumber dalam sebuah dialog (red:Untukmu Indonesia) di TVRI. Sayang, saya belum sempat tahu nama dari nara sumber tersebut. Tapi yang pasti, beliau adalah seorang akademisi dari Universitas Indonesia. Saya sangat tertarik untuk menulis tentang arti sebuah totalitas. Bukan berbicara tentang idealisme yang muluk-muluk. Tapi memang saya merasa bahwa totalitas adalah hal penting yang masih saja sulit untuk diaplikasi dalam kehidupan saya secara pribadi. Kutipan perkataan dari narasumber di atas saya yakini kebenarannya. Karena memang saya juga merasa, seringkali totalitas yang saya jalani selama ini masih belum sepenuhnya ‘’total’’. Masih saja ada berbag