Saya teringat ketika saya masih duduk di bangku
SMA, ibu pernah memberikan suatu pelajaran berharga kepada saya tentang ‘’The Power of Giving’’. Suatu
pelajaran berharga yang tak mungkin terlupakan. Untuk membuka kisah, saya akan
sedikit bercerita tentang ibu saya.
Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga, yang sampai saat ini
membuka sebuah klinik di samping rumah. Ibu merupakan lulusan akademi
keperawatan yang kini mencoba membuka klinik, sebuah sarana pengobatan rakyat
kecil dan menengah yang sangat dibutuhkan di lingkungan tempat saya tinggal.
Dari membuka klinik tersebut, alhamdulilah, ibu diberikan rezeki dari Allah
atas usahanya. Sedikit banyak, penghasilan ibu menyokong pundi pundi ekonomi
keluarga.
Dari penghasilan ibu tersebut, setiap bulannya ibu menyisihkan
sebesar 2,5% dari penghasilannya per bulan dan menabungnya ke dalam
sebuah celengan kaleng (yang dilubangi). Sungguh tradisional memang. Saat
dimana bank-bank sudah menjamur, Ibu masih saja menyimpan zakat maal-nya dalam
sebuah celengan kaleng bekas susu bubuk. Mungkin saja dalam benak ibu, beliau
ingin menghindari uang zakat maal-nya dari bunga bank, makanya ia
memutuskan untuk menyimpannya dalam sebuah celengan kaleng tersebut.
Setiap tahunnya, menjelang idul fitri, biasanya ibu membuka
celengan kaleng tersebut, dan menghitung jumlah uang yang terkumpul. Uang
tersebut nantinya akan dizakatkan kepada keluarga, sanak saudara, kerabat,
jiran tetangga yang kurang mampu.
Mungkin sampai disini kisah ibu memang masih tergolong biasa-biasa
saja. Tapi ada satu hal yang membuat saya sering bertanya dengan apa yang
dilakukan oleh ibu. Saat itu, saya diminta ibu untuk mendistribusikan uang
zakat maal-nya ke seluruh penerima zakat yang ada dalam daftar penerima zakat
yang beliau tulis.
Awalnya saya enggan untuk melakukannya. Dalam hati malah ada rasa
menentang, dengan sedikit ngedumel. "Mengapa
zakat saja harus melalui perantara saya, yang notabene anak kandungnya?’ Kenapa
gak ibu saja yang membaginya?'’
Pertanyaan itu muncul seiring munculnya pikiran
bodoh karena ketidaktahuan saya bahwa saat itu, ibu sedang mengajarkan saya, "The
Power of Giving’’.
Saya yang saat itu masih dalam posisi menentang
mau tidak mau tetap saja menjalankan apa yang ibu perintahkan. Sambil berjalan
memberikan zakat maal ibu, saya masih saja berfikir,
"Apakah ini semua dilandasi oleh keikhlasan hati ibu?’’
"Kalau ikhlas, mengapa saya harus tahu kalo ibu berzakat?
"Kenapa saya harus turut campur dalam pembagian zakat ini?’’
"Apakah ini tidak riya?’’
“Meski itu dengan anak sendiri?’’
Masih dengan amplop-amplop zakat yang saya pegang, saya mengetuk
pintu demi pintu rumah penerima zakat. Rata rata yang menerima adalah para
lansia, janda janda tua, dan orang yang benar-benar kurang mampu. Sungguh, ibu
sangat memahami sedikit banyak kondisi ekonomi mereka karena memang pekerjaan
ibu memberikannya peluang untuk mengenal masyarakat lebih dalam.
Dari pintu ke pintu, setiap kali saya memberikan amplop zakat maal
ibu, ada rasa bahagia yang luar biasa yang saya dapatkan. Ya, kenikmatan
memberi kepada mereka yang kekurangan. Karena biasanya setelah kita memberi,
para penerima zakat (kebanyakan para lansia) tak lupa memberikan doa kepada
kita, dalam hal ini kepada ibu, kepada keluarga. Doa itulah yang perlahan
melunakkan hatiku yang keras saat itu. Doa-doa yang selalu aku aminkan. Doa
orang-orang yang kekurangan dalam hidupnya.
Setelah semua amplop diterima kepada yang berhak, sayapun langsung
pulang dan melaporkan semua salam yang disampaikan dari para penerima zakat
tadi kepada ibu. Saya ceritakan betapa bahagianya mereka menerima zakat itu.
Lalu ibu bertanya kepadan saya, "Gimana perasaannya, Nak? Bahagia kan
melihat mereka bahagia?’’
Sontak saja aku memeluk ibu. Aku berterimakasih sama ibu atas
pelajaran yang luar biasa ini. Aku yang masih belum tahu apa-apa saat itu,
sungguh tercerahkan oleh apa yang ibu perintahkan kepadaku. Perintah untuk
menginfakkan sebagian harta yang kita miliki. Perintah untuk saling berbagi
kepada mereka yang membutuhkan. Ibu mengajarkan ilmu MEMBERI kepada putranya
dengan begitu apik. Dengan begitu luar biasa. Kadang bila teringat kisah ini
kembali, saya sering menangis.Ternyata jauh di dalam relung hati orang tua (ibu
dan bapak), keduanya ingin sekali memberikan pelajaran-pelajaran hidup yang
bisa terus dikenang oleh anak-anaknya, putra/i kesayangannya.
Dan beberapa hari yang lalu, ketika saya membaca Q.S. Al-Baqarah :
271, barulah saya memahami bahwa bentuk zakat/sedekah yang ditampakkan kepada
orang lain agar dicontoh itu boleh boleh saja. Malah, Allah menilainya itu baik
sekali. Tapi dengan niat yang bulat Lillahi Ta’ala dan karena ingin agar orang
yang melihat zakat/sedekah/ infak kita ikut mencontohnya. Semua amal baik pada
akhirnya juga diukur dari niatnya. Hatilah yang bisa menjawab, apakah niat kita
MEMBERI karena Allah Ta'ala atau bukan.
Waalahu’alam bishowab.
Salam TPoG,
Ihtada Yogaisty
Ihtada Yogaisty
Komentar
Posting Komentar