Suatu hari, A beserta sahabatnya mendatangi
sebuah pusat jajanan serba ada untuk makan siang. Padat, penuh dengan
manusia-manusia kelaparan di siang hari. Termasuk juga A dan
sahabat-sahabatnya. Makan siang berlangsung cepat. Karena tempat makan yang
penuh sesak oleh manusia. Usai membayar makan siangnya, A pun bergegas keluar.
Ia berdiri sejenak di serambi luar tempat makan, sambil melihat seorang
pengemis wanita yang meminta-minta di pintu masuk tempat makan. A memperhatikan
sang pengemis itu. Lalu lalang orang melintasi pintu masuk, tapi mereka seakan tak
menganggap ada pengemis di hadapannya. Lewat begitu saja. A dan teman-temannya
pun bergegas pulang. Mau tak mau A dan sahabat-sahabatnya harus melewati pintu
yang sama. Melintasi pengemis wanita di hadapannya, A hanya bisa lewat tanpa
memberikan apa-apa. Jleb! Ada perasaan iba yang dirasakan A. Baru saja ia makan
enak, tapi selama ini ia tak pernah mencoba bertanya pada hatinya: ‘’Apakah
pengemis itu sudah makan?” A pun merasa bersalah atas hatinya yang masih belum
peka.
*******************************
Kurang lebih perasaan seperti itu sering saya
alami ketika bertemu dengan pengemis. Entah itu pengemis di jalanan, di luar
masjid usai jumatan, di rumah makan. Ya, banyak memang jumlah pengemis saat
ini. Bila ditanya apakah mereka senang jadi pengemis, mungkin mereka akan
serempak menjawab mana ada manusia yang mau terlahir dengan kondisi seperti
mereka saat ini, Jadi Tukang Peminta-Minta.
Banyaknya pengemis di jalanan sebenarnya
bukanlah hal baru. Sebagian orang berkata, pengemis adalah mereka yang malas
bekerja. Bisanya cuma minta-minta. Okelah, mungkin ada benarnya. Lalu bila kita
bertanya pada mereka (para pengemis), mengapa mereka hidup dengan mengemis?
Yakinlah, mereka akan menjawab: ‘’Lha wong mau kerja apa lagi? Modal nggak ada.
Lapangan pekerjaan juga gak mau menerima.” Bila pengemisnya sudah tua dan
sakit-sakitan, mungkin mereka akan menjawab: “Saya kan sudah tua. Sudah susah
bekerja. Anak saya juga orang susah. Saya juga sakit-sakitan lagi.” Seribu
alasan mungkin bisa saja keluar dari sang pengemis.
Tapi bukan hal itu yang menjadi sorotan saya.
Sorotan saya kali ini adalah kita, yang sering menjadi objek yang diminta-minta
oleh pengemis. Sudahkah kita memperlakukan pengemis secara manusiawi? Mungkin
kalo diklasifikasikan ke dalam tipe manusia bila sedang menghadapi pengemis,
ada beberapa jenis tipe manusia:
1. Memberi dengan ikhlas dan senyuman.
2. Memberi tapi dengan wajah cuek kurang ikhlas
dan modal kasihan doang.
3. Tidak memberi, tapi masih mengucapkan maaf
sambil tersenyum bersalahnya.
4. Tidak memberi, dan cueknya minta ampun.
Kira-kira, jika diklasifikasikan. Kita lebih
sering masuk ke tipe nomor berapa ya? (Jawab sendiri)
Yuk kita beralih ke cerita lainnya. Coba deh
bayangkan, saat anda naik metromini, atau angkutan umum lainnya. Datang seorang
pengamen. Jrang Jreng. Bernyanyi. Satu lagu lewat. Jrang Jreng. Lagu tambahan
pun selesai. Sang pengamen mengeluarkan bungkus gede permen yang dibalik
sehingga yang terlihat dari luar warna silver bungkusnya. Menadah minta
sumbangan dari depan kursi metromini, sampe ke belakang. Sang pengamen
berterimakasih, dan keluar bus.
Nah, kalau diklasifikasi ke dalam tipe manusia
bila sedang didatangi pengamen juga sama kurang lebih sama seperti ketika
mereka mengahdapi pengemis. Ada yang:
1. Memberi dengan ikhlas dan senyuman
2. Memberi tapi dengan wajah cuek kurang ikhlas
dan modal kasihan doang.
3. Tidak memberi, tapi masih mengucapkan maaf
sambil tersenyum bersalahnya
4. Tidak memberi, dan cueknya minta ampun.
Kira-kira, kita lebih sering masuk kategori
nomor berapa ya? (Jawab lagi sendiri)
Nah, ada sebagian orang yang beralasan untuk tidak
memberikan uang mereka kepada pengemis karena pengemis itu hanyalah orang-orang
yang malas bekerja. Memberi pengemis sama saja menjadikannya semakin malas
bekerja. Makanya mereka enggan memberi pengemis meski sepeser recehan. Tapi
saat dihadapkan dengan pengamen yang meminta empati mereka lewat nyanyian yang
dibawakan, mereka pun kembali mencari-cari alasan lain. Kebanyakan mereka tidak
memberi pengamen dengan alasan “Ah, nyanyinya gak bagus. Kok serba nanggung gitu
nyanyinya? Kayak gak niat nyanyi. Hmm, gak ada uang kecil. Uang Lima puluhan ribu
semua di dompet.” Astaghfirullah... Manusia memang makhluk yang pintar
beralasan.
Padahal, Pernahkah kita berpikir kalau saat itu
(tepatnya sore itu) mereka (para pengamen) sudah menyanyi puluhan lagu dan kelelahan
mencari recehan hingga sore hari? Pernahkan kita berpikir kalau si pengemis
masih saja mengemis sampai malam karena mereka belum mendapatkan banyak uang untuk
keluarganya? Sementara kita? Meski kadang kita lelah pulang bekerja di sore
hari. Kita jauh lebih beruntung dari mereka. Namun kita masih saja enggan
memberi mereka sedikit rezeki hari ini untuk makan mereka.
Saya jadi teringat pesan bapak sama saya.
‘’Nak, kalau ada pengemis. Berilah mereka semampumu. Jangan pernah cari-cari
alasan buat menolak meraka. Jangan pula acuhkan mereka. Bila memang tidak bisa
memberi karena tak ada, perlakukan mereka dengan baik. Senyumlah dan katakan
maaf minimal.”
Saya ingat betul nasihat bapak yang satu ini.
Namun jujur, saya masih belum bisa dikategorikan sebagai orang yang mengingat
derita pengemis. Saya belum bisa dikatakan orang yang peka terhadap perjuangan
pengamen menafkahi keluarganya. Saya masih tergolong manusia yang mencari-cari
alasan untuk menghindari mereka. Semoga Allah mengampuni dosaku yang sering
mengabaikan mereka. Dan semoga hati ini lebih peka atas apa yang mereka
(pengemis dan pengamen) rasakan dalam kehidupannya. Lembutkan hati kami ya
Allah... Amiin.
Salam TPoG,
Ihtada Yogaisty
numpang copy di kaskus ya tada :D
BalasHapusboleh boleh... monggo silahkeun...
BalasHapus