Suatu hari, seorang anak kecil sedang bermain
di kebun belakang rumahnya. Ia menemukan sebuah kepompong tua yang bertengger pada
sebuah daun. Ia memperhatikan kepompong tersebut dengan seksama. Disana, ia
melihat bahwa kepompong tua itu sedang mencoba membuka dirinya. Ya, kepompong
tersebut memang sudah berisi kupu-kupu yang siap meretas. Menit demi menit ia
perhatikan perkembangan kepompong itu. Muncul seekor calon kupu-kupu yang
terlihat begitu kesulitan saat hendak keluar dari cangkang kepompongnya
sendiri.
Melihat hal tersebut, anak kecil tadi merasa
kasihan dengan penderitaan calon kupu-kupu tersebut. Dengan lugunya, ia
mengambil pisau kecil dari dapur rumahnya. Dengan maksud membantu kupu-kupu
tersebut, anak kecil itupun merusak cangkang kepompong sedikit demi sedikit
dengan pisaunya. Dan berhasil! Calon kupu-kupu pun telah keluar dari bungkus kepompong
tuanya. Namun apa yang terjadi setelahnya? Kupu-kupu yang telah meretas
tersebut bukanlah terbang sesuai dengan kodratnya. Tapi malah terjatuh ke
tanah. Selidik punya selidik, ternyata kupu kupu malang itu telah mengalami
gangguan dalam metamorphosisnya. Otot sayapnya belum cukup umur untuk bisa terbang.
Dan akhirnya ia mati, sebelum sempat ia terbang sesuai kodratnya sebagai
kupu-kupu.
*********************************
Itu adalah potongan kisah yang saya dapat
saat mengikuti seminar dari motivator Bong Chandra dengan tema ‘’Life
Metamorphosis’’. Kisah di atas menggambar bagaimana seekor kupu-kupu yang
hendak bermetamorfosis ,namun justru mengalami gangguan saat seorang anak
membantunya keluar dari kepompongnya.
Manusia dalam menjalani kehidupannya juga
melewati sebuah fase metamormosis seperti yang dialami kupu-kupu. Cuma yang
membedakannya adalah kupu kupu bermetamorfosis secara fisik, yaitu dari ulat
menjadi kepompong muda, lalu menjadi kepompong tua dan meretas menjadi
kupu-kupu. Sedangkan manusia mengalami metamorfosis secara mental, akal &
pikirannya. Tanpa disadari, kita sering melihat banyak di antara kita yang
telah merusak proses metamorfosis mental, akal & pikiran kita dengan
berbagai macam kemudahan. Banyak di antara kita yang ingin meraih suatu tujuan
secara instan. Hidup pun seakan berjalan tanpa melalui proses yang semestinya.
Contoh kecil dalam kehidupan bisa dilihat
saat pelaksanaan Ujian Akhir Nasional untuk serta didik SD-SMA. Banyak sekali
kecurangan terjadi di dalamnya. Misalnya: adanya gerakan contek masal, adanya bocoran
soal berupa sms kunci jawaban yang menyebar sebelum pelaksanaan ujian, dan
tindakan kecurangan lainnya. Ini merupakan bukti betapa mental kita telah kita
rusak sendiri dengan perilaku-perilaku curang seperti yang disebutkan di atas. Dengan
dalih agar para anak didik bisa lulus UN, semua pihak seakan bersinergi
terhadap kecurangan tersebut. Padahal bila ditelaah secara psikologi, saat
kecurangan itu kita lakukan, saat itu pulalah kita telah merusak proses
metamorfosis para anak-didik, Kita mengajarkan suatu tindakan yang tak
sepatutnya. Hingga akhirnya suatu saat nanti, kecurangan tersebut akan
dilakukan pada anak, cucu di bawahnya.
Selayaknyalah
manusia memahami bahwa hidup adalah proses yang memang harus dijalani sesuai
dengan koridornya. Hidup itu tak bisa instan. Butuh proses untuk sampai pada
tujuan akhirnya. Mungkin bisa saja kita melakukan tindakan kecurangan demi
meraih suatu tujuan, tapi yakinlah apa yang kita lakukan itu tak akan membawa kebahagiaan
yang hakiki. Pasti akan ada ketidakmatangan mental, akal & pikiran terhadap
setiap kecurangan yang kita perbuat. Untuk itulah seharusnya kita menjalani
setiap fase metamorfosis itu dengan penuh tanggung jawab. Bila ada rasa sakit,
jenuh, atau penderitaan apapun di dalamnya, jadikanlah itu sebuah proses untuk
menempa diri kita menjadi pribadi yang kuat dan lebih matang secara mental dan pikiran.
InsyaAllah! Tetaplah bertekad untuk tidak merusak kepompongnya.
Wallau’alam
Salam
TpoG,
Ihtada
Yogaisty
Komentar
Posting Komentar