Spontan saja
saya mengambil judul tulisan ini. Terasa berat menuliskannya. Karena memang
saya belum menikah. Cuma bagi saya tulisan ini adalah luapan isi hati saya atas
kekesalan pribadi pada mereka yang telah menikah tetapi malah mengabaikan keberadaan orang
tuanya.
Memang
sejatinya sebuah pernikahan adalah ibadah. Anjuran nabiyullah bagi setiap umat
demi menyempurnakan agama. Tapi, pernahkah kita mencoba bertanya pada diri kita
sendiri, ‘’Pernikahan seperti apa yang bernilai ibadah itu?” Apakah cukup
pernikahan yang bernilai ibadah itu hanya dipandang dari kebahagiaan sepasang
insan yang menikah saja? Ataukah kebahagiaan orang tua pasca pernikahan anaknya
juga perlu diperhatikan? Tentu kita perlu membenahi kembali makna pernikahan
yang bernilai ibadah itu.
Jujur! Kalaulah
boleh saya mewakili isi hati para orang tua, sebenarnya ada rasa kehilangan
yang sangat besar bagi kedua orang tua saat harus merelakan putra/putri
kesayangan mereka membina sebuah pernikahan. Dan perasaan inilah yang mungkin
banyak tak dirasa oleh para anak. Para anak cenderung melihat kehidupan
bahagianya pasca ia menikah. Padahal, di sisi lain orang tua mereka berada pada
sebuah titik yang penuh tanda tanya, ‘’Akankah anakku masih menyayangiku bila
ia telah menikah nanti?”
Sudah
beberapa kali saya mendapatkan sebuah kenyataan pahit yang dialami oleh para
orang tua pasca pernikahan anak kesayangannya. Dan setiap kali saya
mendengarkan kisahnya, hati ini teriris pilu saat mengetahui betapa kasihannya
mereka (para orang tua) yang ditinggal menikah anaknya.
Kisah
pertama berawal dari seorang anak lelaki yang setelah menikah, namun ia tak
lagi memperdulikan kondisi orangtuanya, terutama ibunya. Bagaimana mungkin,
seorang ibu yang sedang sakit ditelantarkan begitu saja
oleh anaknya? Sementara ia dan istrinya hidup penuh kesenangan dan layak
berkecukupan? Bagaimana mungkin seorang bapak hanya bisa terduduk diam mendengarkan bantahan anaknya yang mungkin merasa paling pintar karena sudah sarjana? Lalu, bagaimana pula dengan linangan air mata keduanya yang senantiasa mendoakan putra/putri kesayangannya? Inilah yang saya temui dalam kehidupan nyata.
Jangankan untuk
ingat mengirimkan uang bulanan sebagai baktinya pada orang tua, menjenguk
kedua orang tuanya saja merupakan hal yang langka baginya. Hal ini semakin diperparah
dengan perilaku sang istri yang setali tiga uang dengan suaminya. Sungguh
malang nasib orang tuanya itu.
Menikahkan
memang sejatinya adalah kewajiban bagi para orang tua terhadap putra/putri
mereka. Dengan pernikahan, anak yang selama ini dalam asuhan kedua orang tua belajar untuk berdiri dengan kedua kakinya, mengarungi kehidupan yang baru. Tentunya
bersama dengan pasangan hidupnya. Namun pernikahan bukanlah menjadi sekat yang
membatasi hubungan antara orang tua dengan anak. Kapanpun dan dimanapun,
seorang anak adalah tetap anak bagi kedua ibu bapaknya. Yang harus patuh dan
berbakti pada ibu bapaknya. Yang harus selalu sayang pada keduanya. Malah saya
berpikir, seharusnya bakti seorang anak semakin ditunjukkan menjelang usia senja kedua
ibu bapaknya. Setiap anak hendaknya mengingat kembali kasih sayang orang tuanya
yang telah membesarkannya hingga ia mampu menjadi pribadi seperti sekarang ini.
Karena sesungguhnya di sinilah ladang bakti kita pada ibu dan bapak demi meraih
keridhoan Allah.
Semoga kita
semakin menyadari bahwa kita bukanlah apa-apa tanpa kedua orang tua kita. Tak pantas
bagi kita menyakiti hati keduanya. Meski kini engkau telah memiliki pasangan
hidup, lantas bukan berarti engkau boleh melupakan begitu saja kedua orang
tuamu. Surgamu tetap berada di bawah telapak kaki ibumu. Dan guru terbaik dalam
hidupmu tetaplah ayahmu sendiri.
Wallahu’alam.
Salam TpoG,
Ihatada
Yogaisty
Komentar
Posting Komentar